Sabtu, 19 April 2008

Keberkahan Orang Tua

Seorang sahabat suatu malam bertamu ke rumah. Dari wajahnya yang nampak lelah dan kusut, kelihatan sekali dia berada dalam keadaan sulit. Selang berbasa basi dan membahas banyak hal, akhirnya dia utarakan juga masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.

Dia membuka curhatnya dengan keluhan mengenai keadaan ekonominya yang semakin memburuk dan istrinya yang sekarang sakit-sakitan sehingga mengakibatkan keadaan rumah tangga mereka berada dalam masalah serius.

Kalau saya boleh menganalisa, kemunduran ekonomi keluarga kami justru terjadi tak lama setelah ibu meninggal dunia, katanya seolah menegaskan. Sewaktu kami masih merawat ibu, rasanya semua usaha yang saya lakukan mudah dan menghasilkan rejeki yang lumayan. Kakak dan saudara-saudara rajin bertandang, sehingga hubungan kami hangat dan mesra dengan mereka. Intinya, keberadaan ibu di rumah kami justru membawa berkah tersendiri, dibalik perasaan repot yang kami rasakan.


Repot? Ah, begitulah selalu perasaan seorang anak apabila dihadapkan pada kewajiban mengurus dan merawat orang tua saat mereka sudah uzur. Sang anak beranggapan, bahwa kehadiran satu orang tua ditengah keluarga mereka akan menambah beban tidak saja secara ekonomi tetapi juga secara sosial. Sehingga, kebanyakan lebih memilih memberikan bantuan secara ekonomi dibanding menampung satu atap dalam keluarga mereka.

Padahal, apa yang kebanyakan kita sangka sebagai beban, justru ternyata dibaliknya terdapat banyak keberkahan. Seperti cerita teman saya tadi, keberadaan orang tuanya telah membuat jalinan silaturahmi yang hangat dengan saudara dan kakak-kakaknya. Bukankan silaturahmi juga merupakan salah satu pembuka pintu rejeki?.

Belum lagi kemustajaban doa orang tua. Saya yakin, tanpa dimintapun pastilah orang tua selalu mendoakan anaknya demi kebaikan dan keselamatan mereka. Apalagi bila kita merawat mereka, tentu doa-doa merupakan wujud terima kasih mereka. Belum lagi ganjaran pahala yang luar biasa karena merawat orang tua kita disaat mereka memang sangat membutuhkan.

Dari semua itu, rasanya memang tak berlebihan bila dikatakan bahwa keberadaan orang tua dalam rumah tangga kita justru merupakan keberkahan dan ladang pahala yang luar biasa bagi anak-anaknya.

Itulah mengapa kedudukan orang tua dalam pandangan Islam memang sangat tinggi. Penghormatan kepada mereka berada langsung dibawah penghormatan dan taat kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah pun tegas-tegas berfirman agar kita berlaku lemah lembut kepada mereka;

…… dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah : “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al Isra’ : 23-24)

Tak terasa, saya pun teringat diri saya sendiri yang telah yatim piatu. Betapa menyesalnya saya tak memanfaatkan kesempatan untuk merawat mereka disaat mereka masih ada. Setetes air mata dan sebait doa mengalun lembut dalam hati saya: “Ya Rabb, ampunilah hamba yang tak kan pernah bisa membalas semua pegorbanan dan ketulusan cinta mereka. Ampunillah dosa orang tua hamba dan terimalah amal kebaikan mereka.” Amin…

Brisbane, 16 April 2008

Dimuat di www.eramuslim.com tanggal 19 April 2008
http://www.eramuslim.com/atk/oim/8416162446-keberkahan-orang-tua.htm

Senin, 14 April 2008

Rejeki Bukan Matematika

Ayolah, kapan lagi mau menikah? Kamu kan sudah cukup umur, sudah bekerja pula dan secara agama hukumnya sudah menjadi wajib loh!. Ngga usah takut ngga cukup. Rejeki itu tidak seperti hitungan matematika, serahkan saja semua kepada Allah. Begitu selalu yang dikatakan teman-teman saat saya selalu mempertimbangkan masalah keuangan sebagai salah satu alasan mengapa belum menikah.

Percakapan itu terjadi beberpa tahun lalu, saat saya gamang dalam keputusan untuk menikah atau tidak. Syukurnya, saya lebih memilih untuk melangkah dibanding mundur teratur untuk tidak membicarakan lagi masalah pernikahan.

Dan ternyata teori rejeki bukan matematika itu ternyata benar adanya. Mana pernah saya menduga sebelumnya, bahwa dengan berkeluarga justru keadaan ekonomi saya meningkat. Dibanding saat sendiri dulu keadaannya boleh dibilang sangat bertolak belakang.

Dengan gaji yang saya terima saat bujangan dulu, tanpa menanggung biaya kontrak rumah, makan cuma satu mulut dan tak ada tetek bengek biaya rumah tangga, toh tabungan saya tak pernah lebih dari enam digit.

Malah sebaliknya, justru saat saya harus menafkahi istri dan anak-anak ternyata saya bisa mencukupi kebutuhan minimal mereka, sesekali berwisata dan masih ada sisa untuk ditabung untuk persiapan tak terduga. Dari mana semua itu? Secara logika, seharusnya keadaan ekonomi saya morat marit, karena toh gaji yang saya terima jumlahnya tidak terlalu berbeda jauh saat bujangan dulu.

Jawabannya adalah, semua karena kebesaran Allah dan kepasrahan kepada kehendak-Nya. Allah selalu memberikan rejeki yang tidak pernah saya duga –duga sebelumnya. Ada saja tawaran kerja sampingan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan semua itu cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami dan bahkan bisa ditabung pula.

Maka semakin yakinlah saya akan kebenaran janji Allah dalam Alqura-an "... Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar..(memudahkan jalannya untuk sukses)"Dan memberinya rezki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS.65:2-3)

Nah, sekarang apalagi yang menjadi penghalang bagi muslimin untuk menikah, kalau Allah telah menjamin semuanya?.

Dimuat di www.eramuslim.com tgl 14 april 2008
http://www.eramuslim.com/atk/oim/8413093602-rejeki-bukan-matematika.htm