Minggu, 28 Juni 2009

Museum Layang-layang Indonesia

Museum layang-layang? itu pertanyaan pertama yang terlintas saat saya melihat dan membaca sebuah papan iklan penunjuk arah berukuran kecil. Hmmm.. meski udah kebayang apa yang ada dimuseum tersebut, tetap aja perasaan ingin tahu menggelitik di benak saya.

Akhirnya saat liburan sekolah, bersama anak-anak saya sempatkan juga berkunjung ke museum tersebut. Kesan pertama, sama seperti museum lainnya di Jakarta, sepi.. saya sempet berfikir jangan-jangan cuma saya dan anak-anak nih pengunjungnya.

Sesaat kemudian, saya langsung menuju loket penjualan tiket. Disitu tertera daftar harga untuk berbagai kegiatan dimuseum tersebut, misalnya membuat keramik, membuat layangan atau masuk ke kolam renang, hmm lumayan lengkap ya. Untuk HTM-nya cuma RP10.000,00 per pengunjung.

Dari harga Rp10.000,00 tersebut, kita dapat satu paket kegiatan: nonton video tentang layang-layang sekitar 15 menit, tour keliling museum dan membuat layang-layang. Lumayan menarik juga kelihatannya.

Kegiatan pertama pengunjung adalah menonton video tentang layang-layang sekitar 15 menit. Dalam video tersebut ditayangkan tentang sejarah layang-layang dan berbagai jenis layang-layang yang ada di Nusantara, serta kegiatan tentang layang-layang dan beberapa negara yang juga punya tradisi dan kepercayaan tentang layang-layang. Lumayan menarik pada awalnya, tapi agak membosankan diakhir-akhir penayangan.

Setelah itu pengunjung diajak kesebuah pendopo berbentuk joglo. Disana ternyata sudah ada 4 orang turis asing yang sedang asik membuat layang-layang. Upss.. ternyata saya ngga bertiga aja. Ada juga sekeluarga mix -istrinya indonesia, suaminya bule dengan dua orang anaknya- yang datang sesaat setelah saya tiba. Lumayan lah, ngga sepi-sepi amat. Di rumah joglo ini anak-anak diberikan sebuah kertas bergambar ikan yang akan dijadikan layang-layang. Caranya sederhana banget, cuma dilipet, diwarnai terus dikasih rangka bambu,..jadi deh..

Nah yang jadi ruang utama pameran/museum adalah sebuah ruangan yang menyatu dengan pendopo tersebut. Di dalam ruangan ini dipajang berbagai bentuk dan ragam layangan dari seluruh nusantara dan beberapa berasal dari negara lain. Lumayan menarik juga sih, cuma sayang koleksinya dikit banget, jadi kalaupun mau berkeliling, ngga sampai 15 menit udah selesai. Selesai sudah tour museum kita. Lumayan baik juga sih pelayanannya, karena disini kita ditemani oleh seorang pemandu.

Kalo mau beli atau lihat proses bikin layang-layang juga bisa, karena beberapa pegawai museum asyik membuat layang-layang. Ngga tau mau dikemanain ya? soalnya kalo mau dijual di museum, pengunjungnya juga sepi..

Singkat sekali deh kunjungan ke museum ini dan rasanya rada agak kurang greget juga sih.. tapi lumayan lah masih ada yang mau peduli mendirikan sebuah museum ditengah memprihatinkannya tingkat kunjungan dan kepedulian masyarakat kita terhadap museum.

Oh ya, kalo ada yang mau berkunjung, museum ini terletak di Jakarta Selatan di daerah Pondok Labu (nama jalannya saya lupa). Landmarknya gampang, cari aja dulu RS Fatmawati, terus dari RS ini tinggal menuju Pondok Labu, nah sebelum Aneka Buana supermarket, ada papan penunjuk arah museum ini.. tinggal ikutin aja jalan tersebut.. nanti ketemu deh.. selamat berkunjung!!

Rabu, 03 Juni 2009

Si Agil

Namanya Agil, masih lugu dan umurnya belum lagi genap lima tahun. Tapi, kerasnya kehidupan telah membuatnya harus menjalani hampir seluruh siang harinya tanpa perhatian dan belaian kasih sayang ibu, hal yang semestinya menjadi salah satu kebutuhan utama dalam tumbuh kembangnya.

Saya mengenalnya secara kebetulan karena anak saya sering bercerita tentang si Agil. Tentu saja yang diceritakan bukan polah lucu dan menggemaskan dari si Agil, tetapi perlakuan kurang simpatik dari teman-teman yang seharusnya bukan menjadi temannya bermain. Menurut anak saya, seringkali si Agil di usili dan dijahili oleh teman-temannya, entah dengan cara disuruh bertingkah aneh atau digoda dalam bentuk lain. Intinya, tentu saja perlakuan teman-temannya itu pasti merusak perkembangan si Agil secara emosional.

Kepada istri saya, saya sempat menayakan mengapa anak seusia si Agil harus bermain sendirian? (walaupun lingkungan tempat kami tinggal relatif aman, karena semua tetangga saling mengenal dengan baik). Lalu mengalirlah cerita tentang keluarga si Agil menurut versi istri saya.

Ternyata ibu si Agil adalah pembantu tetangga sebelah rumah saya yang terpaksa harus meninggalkan si Agil bermain sendirian. Pagi-pagi sekali dia sudah sibuk dengan tugasnya dan baru selesai setelah malam menjelang. Si Agil hanya sempat diberinya sarapan dan dimandikan, setelah itu dibiarkan bermain dilingkungan sekitar mereka tinggal. Baru setelah selesai bekerja, Agil baru bisa bertemu ibunya lagi.

Sebenarnya Ibu si Agil dulunya tidak tinggal disekitar lingkungan kami. Setahu saya, hanya Bapaknya si Agil saja yang tinggal dan bekerja sebagai sopir di salah satu toko dekat lingkungan kami. Tapi karena kebutuhan ekonomi yang terus mendesak, akhirnya Agil dan Ibunya diboyong sang Bapak untuk bersama-sama mencari nafkah di Jakarta. Dan si Agil-lah yang akhirnya menjadi korban. Ah, kalau seperti ini siapa yang harus disalahkan?

Di usia semuda itu, dia harus menjalani hari-hari tanpa perhatian dari sang Ibu. Haknya untuk bermain secara aman dan sehat pun terabaikan karena tak ada yang memperhatikan. Belum lagi saat dia merasa lapar atau ingin tidur siang disela-sela waktu bermainnya, semua dilakukan sendirian. Si Agil, satu lagi potret anak negeri ini yang harus menghadapi kerasnya persaingan hidup walau dia belum mengerti sedikitpun.

Andai si Agil tahu, tentu dia akan meminta kepada para Capres dan Cawapres yang sekarang sedang berkampanye, untuk menyumbangkan sedikit saja dana kampanye mereka untuk membantu dirinya. Andai si Agil tahu, tentu dia akan meminta kepada salah seorang cawapres untuk menjual satu ekor kudanya saja untuk membiayai dia dan keluarganya berusaha, agar dia bisa ditemani sang ibu sepanjang hari. Ah, Agil.. sayang kamu belum mengerti..