Rabu, 29 Februari 2012

Memories


Foto, walau hanya gambar namun bagi saya bisa menimbulkan perasaan tertentu. Perasaan itu bisa muncul bila saya melihat kembali koleksi foto-foto saya di Australia. Terutama foto-foto di awal kedatangan saya.

Di foto tersebut, walau terlihat saya banyak tersenyum, sejatinya hati saya diliputi kesedihan. Jauh dari keluarga dalam waktu lama untuk pertama kali, membuat saya hampir tak mampu untuk menahan rindu pada anak dan istri di Indonesia. Bayangan bahwa saya baru bisa kembali setelah dua tahun membuat perasaan saat itu benar-benar sedih.

Memang, menemui sesuatu yang baru menyenangkan. Tetapi dibalik itu, setiap saya bertemu dengan sesuatu yang menyenangkan, perasaan bersalah saya justru muncul. Mengapa kesenangan saya tidak dinikmati bersama anak-anak?

Di tiga bulan pertama atau mungkin lebih, saya terkungkung dalam perasaan rindu yang tak berbatas. Ingin pulang, bertemu dan berkumpul bersama benar menyiksa diri. Belum lagi keharusan untuk mandiri, yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan, menambah beban kerinduan saya akan suasana rumah yang nyaman makin tak tertahankan.

Yah, melihat kembali foto-foto itu menimbulkan kembali perasaan itu, walau tentu dengan nuansa yang berbeda. Foto,.. dia mampu bercerita dengan caranya sendiri

Selasa, 21 Februari 2012

I Will Always Love You


Saya termasuk orang yang percaya bahwa dibalik setiap peristiwa pasti ada hikmah atau pelajaran yang diperoleh. Salah satu contoh dari peristiwa yang menurut saya cukup memberi hikmah bagi saya adalah peristiwa meninggalnya diva pop Amerika, Whitney Houston.

Sang diva yang meninggal akibat mengkonsumsi minuman keras dan ketergantungan terhadap obat-obatan telah memberi pelajaran kepada kita bahwa minuman keras dan obat-obatan terlarang sangat berbahaya dan merugikan. Tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga keluarga, lingkungan bahkan negara.

Kerugian bagi diri sendiri contohnya adalah penurunan kualitas hidup, produktivitas dan sampai berujung pada kematian. Tentu saja itu dampak tersebut juga akan berdampak pada keluarga dan negara. Whitney Houston, contohnya, yang berhasil menjual 170 juta copy album rekamannya tentu menghasilkan pundi yang tidak sedikit bagi diri sendiri, keluarga dan masukan berupa devisa bagi Amerika. Lebih jauh, jutaan orang di seluruh dunia tidak bisa lagi menikmati suara merdunya secara live atau mungkin karya-karya nya lagi.

Pelajaran kedua adalah bahwa kecantikan, ketenaran dan kekayaan bukan jaminan kebahagiaan. Memiliki ketiganya tanpa ditunjang dengan pribadi yang siap menerima anugerah tersebut hanya akan membuat orang menjadi lebih menderita. Apalagi bila ternyata ketiganya menghilang. Kencantikan yang mulai pudar, kekayaan yang berkurang (bangkrut) atau ketenaran yang meredup akan membawa dampak pada kehidupan pribadi.

Ketidaksiapan tersebut biasanya akan membuat orang mencari pelarian. Umumnya pelarian tersebut adalah terhadap obat-obatan. Lagi-lagi, jalan yang dipilih adalah jalan yang salah. Padahal, seandainya mereka beralih kepada ketenangan yang bersumber dari Allah SWT, tentu mereka dapat mengatasi semua itu.

Ketiga adalah rasa salut saya kepada rakyat Amerika dan media massa Amerika. Kematian Whitney yang tragis tidak lantas membuat media amerika memberitakan kematian tersebut secara dramatis. Media lebih memilih memberitakan karya-karya dan kisah sukses sang diva.
Sang diva tetap dihormati dan dihargai sebagai seorang artis besar, tanpa memberitakan kidah hidupnya yang tragis. Masyrakat seolah tidak memperdulikan kisah yang menyebabkan kematian. Mungkin, karena memang rakyat amerika tidak terlalu perduli pada sisi privasi seseorang..

Ke-empat, betapa kehidupan seorang entertainment itu penuh dengan tekanan. Mereka dituntut untuk selalu sempurna.. padahal, sebagai manusia mereka pun ingin tampi apa adanya dan menikmati menjadi diri sendiri..

Itulah pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik. udah-mudahan dapat mengingatkan diri saya untuk selalu bersyukur atas apa yang telah dimiliki.. amin

Rabu, 15 Februari 2012

Merubah Cara Pandang terhadap Balance Scored Card


Diklat Balanced Scorecard angkatan IV tanggal 2 – 6 Mei 2011 lalu benar-benar memberi wawasan baru bagi saya. Tidak hanya memberikan pemahaman tetapi juga memberikan sudut pandang baru tentang apa itu Balance Scorecard (BSC).

Kalau boleh jujur, meskipun pernah mendengar istilah BSC, namun tak pernah sekalipun saya berusaha mencari tahu apa itu BSC. Tawaran diklat BSC dari sekretariat tempat saya bertugas, saya pastikan untuk ikut pada detik-detik terakhir. Itupun karena dalam dua triwulan terakhir saya terlibat dengan proses penyusunan laporan capaian Indikator Kinerja Utama. Dan quote pernyataan Pak Marwanto Harjowiryono (Dirjen Perimbangan Keuangan) pada Buletin Kinerja Edisi 8/2011 yang mengatakan “Kita perlu menjadikan BSC sebagai nafas dan spirit dalam melaksanakan tugas sehingga kita bekerja harus ada action plan dan target, kemudian dievaluasi untuk menentukan reward dan punishment saya anggap lebay.

Balanced Scorecard sebagai alat manajemen bukan alat untuk punishment

Pada hari pertama diklat dan hari-hari selanjutnya, saya berkali-kali mendapat penegasan dari pengajar bahwa BSC sebenarnya merupakan alat manajemen untuk memantau pencapaian kinerja dalam suatu waktu tertentu pada periode yang sedang kita jalani. Dengan adanya BSC manajemen dapat segera memantau, seandainya terdapat kinerja yang tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga dapat diambil langkah-langkah inisiatif untuk mengatasinya.

Saya juga diberikan gambaran bahwa BSC ini menjadi begitu relevan untuk saat ini, karena sejarah membuktikan bahwa pengukuran kinerja yang didasarkan pada aspek keuangan semata ternyata tidak dapat menggambarkan kinerja perusahaan saat ini. Mengapa? karena kinerja yang dapat dilihat dalam laporan keuangan merupakan cerminan kinerja masa lalu sehingga, mengukur kinerja dari laporan keuangan dibaratkan seperti menyetir dengan melihat ke belakang (kaca spion). Kinerja saat ini tidak dapat diukur bila kita tidak mempunyai tool (alat) yang dapat digunakan. Salah satu alat tersebut adalah BSC yang sejauh ini memberikan dampak yang signifikan tetapi dianggap sebagai alat manajemen yagn termudah untuk dipahami dibandingkan dengan Six-sigma dan Malcolm Balridge.

Sedangkan BSC merupakan pengukuran yang seimbang, yaitu megukur kinerja keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang serta internal dan eksternal. Sehingga, dengan BSC kita mempunyai perspektif yang lengkap untuk bekerja: apa yang seharusnya kita miliki, apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang seharusnya kita berikan kepada pelanggan dan manfaat apa yang seharusnya diperoleh bagi pemangku kepentingan.

Dari pemahaman tersebut, timbul pertanyaan di benak saya, mengapa setiap kali penyusunan capaian IKU selalu saja beberapa orang tertentu terlihat begitu tegang. Apalagi pada saat mereka mengetahui beberapa indikator menunjukkan warna merah (tidak tercapai). Seharusnya, BSC ini tidak membuat mereka cemas karena BSC bukanlah alat untuk punishment. Untuk melakukan punishment tidak dapat didasarkan pada hasil yang tertera pada BSC semata. BSC hanya mengukur hard competency dan hanya mengukur kinerja yang dianggap utama saja. Padahal, kinerja seseorang menyangkut pula soft competency (tata nilai) dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak utama namun bersifat rutin dan tetap harus dikerjakan dengan kinerja terbaik.

BSC harus dipahami oleh seluruh karyawan

Setelah masuk kembali ke kantor selepas diklat, saya berkali-kali ditanyakan oleh rekan kerja apa sih BSC itu. Hmm,.. pernyataan pengajar (Pak Supendi) yang menyatakan bahwa masih banyak pegawai Kemenkeu yang belum memahami BSC ternyata memang terbukti. Bahkan lebih ekstrem Pak Supendi mengatakan bahwa rekan-rekannya yang berada dalam satu gedung/ dekat dengan PUSHAKA pun banyak yang belum paham dan tahu apa itu BSC.

Ini tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang harus diselesaikan secara serius. Tidak hanya PR bagi PUSHAKA sebagai manajer kinerja di lingkungan Kemenkeu tetapi tugas semua karyawan Kemenkeu yang sudah tahu apa itu BSC untuk menginformasikan dan berbagi pengetahuan tentang BSC.

Hal tersebut penting untuk menghindari kesalah-pahaman pada saat kewajiban membuat kontrak kinerja mulai efektif diberlakukan. Terutama kesalah- pahaman bahwa BSC adalah alat kontrol untuk menjatuhkan hukuman yang membuat karyawan enggan untuk membuat kontrak kinerja. Bahkan yang lebih penting lagi, agar semua karyawan (64 ribu lebih) di lingkungan Kemenkeu mempunyai persepektif yang dapat mengubah pola pikir dari berpikir normatif yang umum, generik, filosofis dan tidak spesifik menjadi pola pikir definitif yaitu pola fikir yang spesifik, terukur, jelas waktunya serta tidak multitafsir.

Selasa, 14 Februari 2012

RM Handayani Prima


Undangan untuk melepas kangen sambil makan siang dari seorang teman yang sudah digagas jauh-jauh hari, alhamdulillah dapat terlaksana hari ini. Memang, akhir-akhir ini agak sulit untuk sekedar keluar makan siang dengan lokasi yang agak jauh karena kerjaan yang datang saling desak mendesak.

Nah, pilihan tempat untuk melepas kangen sambil ngobrol dan makan siang adalah Rumah Makan Handayani Prima yang terletak di Jl. Matraman Raya. Rumah makan ini cukup terkenal bagi penggemar menu masakan Indonesia. Kunjungan saya ke RM ini juga bukan yang pertama, saya pernah makan bersama teman-teman di sini beberpa kali dan masakannya memang masuk kategori enak walau tidak terlalu istimewa.

Menu makan siang kami kali ini adalah nasi putih dengan lauk ikan gurame bakar bumbu rujak, udang galah bakar dan ayam goreng kremes. Sedangkan sayurnya kami pilih tumis toge ikan asin dan tumis buncis ayam dan teri medan.

Ikan guramenya enak, dengan rasa asam pedas yang pas. Udang galahnya lumayan besar dan daging lembut. Ternyata yang paling enak ayam gorengnya. Ya, ayam goreng kremesnya crispy di luar- empuk di dalam. Pokoknya juara deh..

Tumis toge dan bucnisnya rekomen deh. Tumisan toge dan buncisnya tidak over coocked. Buncisnya juga baby buncis.. mantap...

Menu minuman juga tersedia banyak pilihan. Saya pilih jus sirsak.. sayang terlalu banyak gulanya. Harusnya saya pesan tanpa gula ya..

soal harga? he..he.. ngga tau.. di traktir sih.. atau jangan-jangan enak karena rasa "kabel" ya alias "kaga beli"