Rabu, 05 Agustus 2015

Paksey City, Lao PDR



Bisa berpergian ke luar negeri bisa jadi menjadi impian sebagian besar dari kita. Sebagian orang pasti membayangkan bisa melihat kota-kota besar dunia yang masyur; entah di Eropa, Amerika atau Asia Timur, Timur Tengah plus Singapura, Hong Kong, at least Kuala Lumpur dan Bangkok.  Tapi kalau ditawari pergi ke Negara yang secara ekonomi dan pembangunan masih agak tertinggal dari Indonesia, seperti Lao PDR (Loas) mau ngga ya? Kalau ditanya pasti mikir-mikir. Kalau sudah tugas ya harus berangkat dong. Dan ternyata?  seruu bingits!!

Keseruan pertama adalah proses mencari flight yang tersedia. Mencari flight langsung ke ibu kota negaranya aja sangat terbatas apalagi ke ibu kota provinsi seperti Paksey City di Provinsi Champssak di Lao Selatan. Direct flight langsung ke Paksey City hanya ada dari ibu kota Thailand Bangkok dengan menggunakan Thai Air/Lao Air  atau dengan Lao Air dari Siem Reap di Cambodia. Dengan supply yang terbatas tersebut, petualangan mencari penerbangan menjadi drama pertama.

Paksey City
Sampai jam 9 padi di hari Sabtu, belum ada kepastian dapat pesawat atau tidak. Kepastian baru di dapat mendekati pukul 11 siang dan harus berangkat malam ini juga karena penerbangan hari Minggu penuh. Itupun dengan konsekwensi rombongan terpecah, sebagian ada yang dapat penerbangan di Hari Minggu.  Saya bareng teman dari Direktorat Internasional dan Jenny bareng teman dari DPNP (Perbankan)
Dengan supply penerbangan yang terbatas, otomatis   perjalanan yang ditempuh penuh tantangan. Penerbangan ke Paksey City harus menggunakan beberapa maskapai dan berhenti di banyak tempat. Penerbangan pertama adalah rute Jakarta – Singapura. Sebenarnya ini penerbangan normal, tapi karena harus menyesuaikan dengan connecting flight yang ke Vientiane, maka kita harus berangkat dari Singapura ke Bankok dengan pesawat yang pagi, so mau ngga mau  harus menginap di Singapura agar besoknya bisa mengejar penerbangan pagi ke Bangkok. 

Emang kalo semua mepet-mepet, segalanya jadi agak kacau. Hotel transit ternyata penuh dan kamar available pukul 2 pagi waktu Singapura. Weleh buat apa kalau begitu, baru merem dah bangun lagi. Akhirnya diputuskan menginap di Lounge yang menyediakan kamar, tapi kamarnya cuma dibatasi dinding tanpa pintu alias hanya di halangi curtain. Kalau ada yang iseng, bisa masuk kapan saja tanpa ada halangan. Walau cukup nyaman, tapi ngga bisa tidur dengan nyenyak juga.

Penerbangan Singapura – Bangkok - Vientiane tak ada kendala karena menggunankan Singapore Airlines dilanjutkan dengan Thai Air. Namun saat mendarat di Bandara Wattay International Airport di Vientiane, agak heran juga. Bandaranya tidak lebih bagus dari Bandara di Kota kecil di Indonesia. Tidak jauh dari turun pesawat, langsung berhadapan dengan imigrasi yang kebetulan cepet banget, karena cuma beberapa orang saja yang bukan orang Lao.

Keluar dari terminal internasional, saya harus pindah ke terminal domestic karena menggunakan penerbangan domestic Lao Air untuk menunju Paksey City. Di sini saya sempat menukar uang Dollar Singapura dengan Kip Lao, tetapi ternyata ngga bisa. Mereka hanya menerima beberapa mata uang saja seperti USD dan beberapa Negara lain. Wow.. 

Pindah dari terminal internasional ke terminal domestic sebenarnya tidak jauh, namun kami kesulitan menemukan petugas yang mengerti bahasa inggris. Dengan modal sok tau, kita keluar terminal dan untungnya langsung kelihatan petunjuk terminal domestic di atas nama sebuah bangunan.

Agak kaget juga saat masuk terminal domestic, bangunannya kurang terawat dan sedikit kumuh. Ngga masalah lah, yang penting toiletnya bersih. He..he.. toiletnya bersih karena jarang digunakan. Saya yang sedang pilek, bolak-balik buang ingus di toilet dengan bebasnya srat-srot.. ga ada saingan sih..sepi!

Saat menunggu keberangkatan, kita mulai was-was ketika menyadari bahwa pesawat yang parkir semuanya pesawat yang menggunakan baling-baling alias pesawat kecil. Apalagi di pengumuman tercantum tulisan jumlah penumpang cuma 30 orang. Ngebayangin cerita teman-teman yang menggunakan pesawat baling-baling kaya nya serem, tapi ternyata baik-baik aja. 

Yang bikin aneh justru penerbangan dari Vientiane ke Paksey City ternyata mesti singgah/transit di Savanneth airport buat ngisi bahan bakar padahal kita mengira bahwa kita ngga bakalan transit lagi. Halah, kebayang kan mesti berapa kali kami transit untuk sampai di Paksey City. Lucunya, di pesawat pengumuman transit disampaikan dalam bahasa Lao dan ngga pakai pengeras suara. Jadilah penumpang yang dibelakang kebingungan kenapa mesti turun dari pesawat..

Tapiiii, semua  kebayar kok pas sampai di Paksey City. Hotelnya nyaman dan bersih dengan view sungai Mekong yang mengalir deras dan lebar. Dan yang paling menghibur adalah makanan yang disajikan enak-enak. Enak dalam artian bumbunya/rasanya pas dengan lidah Indonesia. Buat saya, yang lebih menghibur tentu adalah ada ikan asin yang disajikan saat sarapan. Ikan asin disajikan untuk pelengkap bubur. Buburnya ngga seperti kita yang berasnya sampai hancur menyatu, buburnya masih berbentuk nasi dengan kuah. Tapi tetap enak sih.. sambelnya juga seperti sambel terasi untuk cocolan lalap sayuran.. pedes poll!!
Karena Paksey kota kecil, kita memutuskan untuk eksplore dengan berjalan kaki. Dan beruntung banget, nemu penjual duren di pasar tradisional. Huhhh… duren local dan rasanya juara.. murah pula Cuma 30000 Kip atau sekitar 45000 Rupiah. Pokoknya the best durian I ever eat!!. Puas banget pas balik ke hotel untuk istirahat..

Hahh.. malam pertama di Paksey, membayar semua kelelahan untuk mencapai kota ini.

(Bersambung)