Sebuah perenungan

Hari ini sudah hampir seminggu, rumah tempat ayah tinggal ramai dengan suara tangis dan canda tiga anak perempuan balita. Mereka Affa, Azza dan Ami, tiga putri cilik anak teman Ayah, Om Coco. Wah mereka lucu dan menggemaskan. Kadang mereka juga mengingatkan ayah pada sosok kalian yang aktif, lucu dan cerdas.
Tapi dibalik itu semua, kehadiran mereka justru membuat ayah berfikir kembali untuk mengajak kalian tinggal di sini (Australia-red). Masalahnya bukan hanya bagaimana kita bisa berkumpul bersama, tapi juga bagaimana kita menghabiskan waktu bersama tersebut dengan asyik dan bermanfaat.
Dari pengamatan yang Ayah lakukan kepada mereka, ngga kebayang rasanya bagaimana kita menghadapi hidup di sini seperti itu. Belum dapat tempat tinggal, tinggal dalam satu kamar untuk satu keluarga, sharing dengan teman dan keluarga lain (yang tidak mungkin diingkari-pasti ada perasaan ngga enak dan segan), hanya main dirumah terus karena memang disini kawan/teman bermain sangat terbatas, makanan yang pilihannya terbatas pula (mungkin banyak, tapi tidak seperti di Indonesia), sharing dapur, belum lagi kemungkinan-kemungkinan lain.
Untuk bunda sendiri mungkin akan stress juga, karena sudah terbiasa di Indonesia bisa melakuan segala aktivitas, tiba-tiba hanya diam dirumah dengan anak-anak, ngga pergi kemana-mana, kalau mau kerja mesti malam hari karena gantian jagain anak, ngajarin anak, masak, wah-wah..setumpuk kegiatan domestik lain yang menyita waktu dan melelahkan. Rasanya kasian sama bunda deh kalau seperti itu..
Yang paling menguntungkan kalau kalian ke sini ya (mungkin) kebersamaan sebagai keluarga, pengalaman baru dengan budaya dan bahasa asing, merasakan suasana tinggal dinegeri orang.. tapi kalau dari sisi lain, menurut ayah lebih asyik tinggal di Indonesia.
Contonya dari segi ekonomi: kita ngga perlu kerja terlalu keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, mau cari hiburan, mainan atau makanan tinggal niat terus bayar,..pokoknya mudah deh...Dari segi sosial dan pergaulan, paling juga ngumpulnya dengan teman-teman Indonesia juga dan itupun hanya waktu-waktu tertentu aja. Kalau lagi bete, belum tentu ketemu teman yang bisa diajak berbagi, karena sama-sama sibuk dengan kegiatan dan keluarga mereka. Jadi kalau bener-benar ngga bisa mengatur jadawal dan diri sendiri, bakalan kesulitan dan kesepian hidup di sini.
Di sini semua kelihatan mudah, tetapi kenyataaan tidak. Contohnya: Transportasi mudah dan gampang dijangkau, tapi karena menggunakan sistem berjadwal, kadang susah menyesuaikan dengan kebiasaan kita yang pergi bisa setiap waktu. Belanja sayuran juga cuma bisa seminggu sekali kalau mau yang segar dan banyak serta agak murah, ikan segar ngga bisa dibeli setiap hari, daging walau murah juga tempat belinya jauh, wah pokoknya kemudahan yang biasa kita rasakan dalam hal berbelanja di Indonesia susah didapat di sini.
Kalau mau jajan juga mesti mikir dulu, kemahalan ngga ya? halal ngga ya? dan pertimbangan lain seperti: "aduh sayang ya, harga segini bisa untuk biaya makanan tiga hari" misalnya. Mau beli baju, mainan dan peralatan lain, lebih memilih barang second -walau kondisinya masih layak pakai-, tapi kaya'nya ngga banget deh kalau untuk kalian. Bukannya sombong, Ayah ngga tega memberi kalian barang bekas, walau itu masih bagus. Jadi nikmati aja deh kehidupan di Indonesia.
Sekarang Ayah harus menerima risiko lainnya sebagai konsekuensi: Abang dan Cici pasti ngga deket lagi sama ayah. Mereka pasti (untuk sementara waktu) merasa ayah ngga ada dan ngga penting. Kalau di telpon juga mereka sudah cuek aja. Yah, mau gimana lagi sudah risiko untuk sebuah pilihan yang diambil.
Jadi kesimpulannya sekarang, biarlah sementara kita hidup terpisah, walau berat menahan rindu dan kadang menangis, itu tak seberat menghadapi kenyataan hidup di sini.

Komentar