Bunda, abang dan Cici, tulisan ayah ditampilkan lagi di KoKi (Kolom Kita) Kompas Cyber Media edisi Sabtu 30 Juni 2007. Judulnya seperti judul di atas. silahkan deh di klik link ini:
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=34720§ion=92
kalau ngga ketemu, ini ayah copy isi tulisan tersebut
Zev, ngobrol-ngobrol tentang stereotyping, sedikit uneg-uneg yang saya alami sendiri. Tapi bukan masalah Indon, tapi masalah menjadi orang yang terlahir dengan status suku Betawi..
Dari kecil sampai besar dan punya anak, hidup saya habiskan di tanah Betawi. Habis Nya’ dan Babe dari muda sampai tua emang ngga pindah kemana-mana. Kata teman-teman saya, Betawi emang singkatan betah di wilayah. Ngga juga sih..
Tapi ngomong-ngomong masalah stereotyping, ada juga nih yang mengganjal di hati. Terutama tentang anggapan orang-orang tentang suku Betawi. Ada yang berpendapat, orang Betawi adalah orang-orang yang tersisih, kerjaannya jual tanah warisan, kalau kerja paling banter cuma jadi tukang ojek. Waduh, apa yang salah sih jadi tukang ojek? Sepanjang halal dan tidak mengganggu ketertiban, so what gitu loch?
Ternyata stereotyping seperti ini udah menyebar luas ya. Pengalaman saya waktu pertama kali kerja dan memperkenalkan diri, salah satu yang mesti diutarakan adalah daerah asal. Pas saya memperkenalkan diri dan saya bilang saya orang Betawi asli (emang ada yang palsu?), samar-samar saya dengar ada yang berkomentar,”tumben orang Betawi ada yang kerja kantoran dan kuliah.” Gedubrak!! Mula-mula dengar ungkapan seperti itu saya sebenernya panas juga. Lho, emang semua orang betawi ngga berpendidikan apa?
Kebetulan jenis kerjaan saya adalah yang menemui banyak orang, sehingga sering berkenalan dengan banyak orang baru. Dan setiap kali berkenalan selalu saja ada yang merasa ’’heran“ kalau orang Betawi seperti saya bisa bekerja seperti ini. Aneh, sebenernya yang ketinggalan jaman itu orang Betawi, atau orang yang heran dengan kemajuan orang Betawi sih? Masa’ sih dijaman sekarang ini, masih aja heran dengan kemajuan yang dicapai salah satu suku? Apa mereka ngga kenal sama orang betawi yagn sukses di berbagai bidang? Dikalangan ulama ada KH M Syafi`i Hadzami, dikalangan seniman ada Bang Ben yang melegenda dan masih banyak lagi orang Betawi yang sukses.
Padahal jelas-jelas di depan mata, kesempatan untuk sekolah dan mendapatkan pekerjaan sekarang ini adalah sama untuk semua orang, yang penting memenuhi kriteria yang ditentukan. Apalagi mulai timbul kesadaran dikalangan anak muda Betawi bahwa tanah warisan tidak bisa dijadikan andalan meraih sukses dimasa depan. So, mereka juga sama seperti saudara mereka dari seluruh Indonesia dalam mengejar kesempatan sekolah dan berkarir.
Untuk urusan gubernur, walau sampai saat ini belum ada satupun putra daerah yang menjadi Gubernur DKI, orang Betawi cukup berbesar hati untuk menerima siapapun yang menjadi pemimpin mereka. Mungkin, DKI Jakarta lah satu-satunya propinsi yang belum pernah dipimpin oleh putra daerahnya.
Sayangnya, ada organisasi yang mengatasnamakan masyarakat Betawi. Ujug-ujug meningkatkan citra suku Betawi, malah menodai citra orang Betawi yang peramah, bersahabat dan doyan bergurau. Dan saya sih percaya, organisasi itu bertujuan bukan untuk meningkatkan peran orang Betawi di tanah kelahirannya, tapi untuk tujuan lain yang ngga jelas. Siapa tahu?
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=34720§ion=92
kalau ngga ketemu, ini ayah copy isi tulisan tersebut
Zev, ngobrol-ngobrol tentang stereotyping, sedikit uneg-uneg yang saya alami sendiri. Tapi bukan masalah Indon, tapi masalah menjadi orang yang terlahir dengan status suku Betawi..
Dari kecil sampai besar dan punya anak, hidup saya habiskan di tanah Betawi. Habis Nya’ dan Babe dari muda sampai tua emang ngga pindah kemana-mana. Kata teman-teman saya, Betawi emang singkatan betah di wilayah. Ngga juga sih..
Tapi ngomong-ngomong masalah stereotyping, ada juga nih yang mengganjal di hati. Terutama tentang anggapan orang-orang tentang suku Betawi. Ada yang berpendapat, orang Betawi adalah orang-orang yang tersisih, kerjaannya jual tanah warisan, kalau kerja paling banter cuma jadi tukang ojek. Waduh, apa yang salah sih jadi tukang ojek? Sepanjang halal dan tidak mengganggu ketertiban, so what gitu loch?
Ternyata stereotyping seperti ini udah menyebar luas ya. Pengalaman saya waktu pertama kali kerja dan memperkenalkan diri, salah satu yang mesti diutarakan adalah daerah asal. Pas saya memperkenalkan diri dan saya bilang saya orang Betawi asli (emang ada yang palsu?), samar-samar saya dengar ada yang berkomentar,”tumben orang Betawi ada yang kerja kantoran dan kuliah.” Gedubrak!! Mula-mula dengar ungkapan seperti itu saya sebenernya panas juga. Lho, emang semua orang betawi ngga berpendidikan apa?
Kebetulan jenis kerjaan saya adalah yang menemui banyak orang, sehingga sering berkenalan dengan banyak orang baru. Dan setiap kali berkenalan selalu saja ada yang merasa ’’heran“ kalau orang Betawi seperti saya bisa bekerja seperti ini. Aneh, sebenernya yang ketinggalan jaman itu orang Betawi, atau orang yang heran dengan kemajuan orang Betawi sih? Masa’ sih dijaman sekarang ini, masih aja heran dengan kemajuan yang dicapai salah satu suku? Apa mereka ngga kenal sama orang betawi yagn sukses di berbagai bidang? Dikalangan ulama ada KH M Syafi`i Hadzami, dikalangan seniman ada Bang Ben yang melegenda dan masih banyak lagi orang Betawi yang sukses.
Padahal jelas-jelas di depan mata, kesempatan untuk sekolah dan mendapatkan pekerjaan sekarang ini adalah sama untuk semua orang, yang penting memenuhi kriteria yang ditentukan. Apalagi mulai timbul kesadaran dikalangan anak muda Betawi bahwa tanah warisan tidak bisa dijadikan andalan meraih sukses dimasa depan. So, mereka juga sama seperti saudara mereka dari seluruh Indonesia dalam mengejar kesempatan sekolah dan berkarir.
Untuk urusan gubernur, walau sampai saat ini belum ada satupun putra daerah yang menjadi Gubernur DKI, orang Betawi cukup berbesar hati untuk menerima siapapun yang menjadi pemimpin mereka. Mungkin, DKI Jakarta lah satu-satunya propinsi yang belum pernah dipimpin oleh putra daerahnya.
Sayangnya, ada organisasi yang mengatasnamakan masyarakat Betawi. Ujug-ujug meningkatkan citra suku Betawi, malah menodai citra orang Betawi yang peramah, bersahabat dan doyan bergurau. Dan saya sih percaya, organisasi itu bertujuan bukan untuk meningkatkan peran orang Betawi di tanah kelahirannya, tapi untuk tujuan lain yang ngga jelas. Siapa tahu?
Komentar