Angin musim dingin yang menggigit kulit dan merasuk sampai ketulang menerpa wajah Agnes. Balutan jumper dan syal tebal tak mampu menepis dingin yang seperti berlomba merayap kesetiap pori kulitnya. Ya, musim dingin kali ini memang terasa baginya lebih dingin dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sebenarnya, tak hanya itu saja yang membuat musim dingin kali ini terasa sangat menyiksa. Hatinya yang terbalut rindu dan bayangan akan wajah Prama lah yang lebih menyiksa dirinya. Kepulangan Prama awal musim dingin ini masih menyisakan berjuta kesedihan bagi Agnes.
“Aku akan sangat merindukanmu Pram.. Aku takkan sanggup melewati musim-musim selanjutnya tanpa dirimu Pram“, mata Agnes basah dengan suara parau yang memenuhi rongga mulutnya. Hatinya berkecamuk hebat membayangkan hari-hari yang sepi tanpa Prama disisinya.
“Bagaimana aku bisa hidup tanpa kamu Pram, kamu telah membangkitkan semangat hidupku yang seperti mati. Canda dan semua yang ada padamu telah mengisi hari-hariku menjadi begitu berwarna,“ rajuknya dengan tatapan yang tak mau lepas dari wajah Prama. Sementara daun-daun berguguran seolah mengikuti suasana hati Agnes yang hancur berkeping-keping.
“Sabarlah, kaupun suatu saat harus kembali ke tanah air. Seindah dan senyaman apapun disini, tetap Indonesia tempat kita untuk berbhakti dan mendarmakan ilmu yang kita dapat disini,“ kata-kata bijak Prama seolah berusaha menurunkan tensi kegundahan di hati Agnes. Namun Agnes yakin, Prama pun tak beda dengan dirinya, terjerambat dalam jurang kesedihan yang tak berujung. Membayangkan perpisahan yang sebentar lagi akan mereka alami.
~~~~~~~0000000~~~~~~~
Hari ini, hari ketiga puluh sejak perpisahan itu. Namun, semua yang terjadi saat perpisahan dan kenangan-kenangan indah bersama Prama tak pernah hilang dari ruang memori otak Agnes. Agnes seperti tersandera dalam kenangan indah sosok Prama. Sosok yang begitu sempurna bagi Agnes. Sosok yang telah merubah segalanya dalam kehidupan Agnes.
Kesendirian dinegeri asing bukanlah hal yang mudah bagi seorang pelajar seperti Agnes. Beban study dan keseharian yang mesti dikerjakansendiri, telah menyita sebagian besar waktunya. Semua merubah segalanya menjadi begitu monoton dan tanpa warna.
Sampai pada suatu ketika, ketika seseorang teman mengenalkannya pada Prama. Seorang lelaki sederhana yang sangat cerdas dalam segala hal. Mulanya Agnes menganggap Prama biasa saja, sama seperti teman-teman Indonesia yang lain. Yang membedakan mungkin hanya kesederhanaan dan ketulusan Prama yang- entahlah- sejak pertama Agnes kenal, semuanya memang apa adanya tanpa dibuat-buat.
„Nes, mau nolongin aku ngga?“ tanya Prama suatu ketika
“ngapain?” tanya Agnes cuek dan seadanya ketika itu.
“ mau ngga jadi modelku?” pinta Prama tanpa basa-basi.
Agnes kaget setengah mati, ngga menduga dengan permintaan tolong Prama yang seperti itu.
“Kamu ngeledek ya? Orang seperti aku kok disuruh jadi model, ngga punya tampang dan tinggiku juga minimalis,” Agnes mencoba menolak dan sebenarnya ada sedikit terbersit rasa senang ketika Prama memintanya menjadi model.
“justru itu tantangannya Nes, kalo motret cewe cakep dan body aduhai mah ngga ada tantangannya, justu gimana caranya motret cewe pas-pasan menjadi kelihatan cantik,” Prama senyam-senyum, tapi Agnes tahu tak ada maksud apapun bagi Prama untuk meledeknya.
“Brengsek kamu Pram”.
Tapi itulah yang Agnes suka dari Prama. Apa adanya dan selalu berusaha jujur. Hal yang sangat jarang ia temukan pada sebagian besar laki-laki yang dia kenal. Sejak saat itu, Agnes jadi model tetap bagi Prama. Hampir sebagian besar waktu Prama habis untuk menggeluti hobi pothographynya selain untuk kuliah tentu saja.
Tanpa sadar, Agnes pun akhirnya jatuh cinta juga pada hoby baru ini. Tugasnya sebagai model, telah membuat hari-harinya berubah. Apalagi Prama begitu pintar dan jenaka dalam mengarahkan Agnes di depan kamera. Tak seharipun sesi pemotretan yang menjenuhkan bagi Agnes. Semua telah merubah menjadi kesenangan dan kegembiraan bagi Agnes. Dan tanpa Agnes sadari, perasaan suka juga mulai tumbuh dihatinya.
Tapi Agnes tak berani mengakui dan terkurung dalam keraguan. Jatuh cintakah dia pada Prama? Ah.. perasaan itu dia buang jauh-jauh. Agnes masih berusaha meyakinkan hatinya, bahwa semua bukanlah cinta. Agnes berusaha menanamkan perasaan bahwa semua itu hanya karena ia terlalu sering bersama Prama sehingga satu hari saja tak mendengar suara dan melihat senyum manisnya, perasaan rindu akan membuncah di hatinya. Rindu? Uh, kenapa aku bisa begitu rindu pada sosok sederhana itu?
Apalagi Prama tak sedikitpun menunjukkan perasaan suka dan rindu padanya bila tak bertemu. Uh sebel.. aku kok cinta dan rindu sendiri sih, sesalnya.
~~~~~~~00000~~~~~~~~~~~~
„Kemana aja kamu? Kok ngga pernah kelihatan? Di YM juga ga pernah nongol“ Prama mencecar Agnes dengan seribu pertanyaan. Agnes tersenyum. Akhirnya, batin Agnes. Ah, tapi Agnes berusaha tidak GR.
„sibuk Pram, Assignment ku jatuh tempo minggu ini. Sorry kalo ngga beredar di YM” imbuh Agnes. Sementara perasaan senangnya tak bisa ditutupi.
“ Aku photo lagi yuk, bunga jacaranda sudah mulai bermekaran loh.. cantik banget pasti”
“Mauuu..” tanpa sadar Agnes berteriak. “uups.,, maksudku emang aku mengharap banget bisa foto dibawah jacaranda. Aku suka banget dengan warna ungunya” Agnes benar-benar tak bisa menutupi lagi rasa senangnya. Terbayang sudah hasil foto yang cantik hasil bidikan Prama. Apalagi, memang sudah seminggu ini Prama selalu menghiasi ruang rindunya.
Jadilah sesi photo Jacaranda itu menjadi momen yang paling indah bagi Agnes. Deretan pohon jacaranda di Monroo Park yang melulu hanya dihiasi bunga, menjadi saksi keriangan hati Agnes. Apalagi canda dan sikap Prama yang begitu baik padanya, kian meyakinkan hati Agnes, bahwa Prama sebenarnya juga memendam rasa suka padanya.
“Pram, akan kuinget saat-saat ini. Saat bunga jacaranda bermekaran, saat saat hatiku mulai yakin bahwa aku memang jatuh cinta padamu“. Sebaris kalimat indah, Agnes torehkan dibuku hariannya. Dan hari-harinya pun begitu berwarna, hujan bernyanyi riang dan burungpun bersenandung merdu mengisi suasana hati Agnes.
Dua semester berlalu sudah, semua bagai berlalu dalam hitungan detik saja bagi Agnes. Tak ada lagi kejenuhan yang dia rasakan. Sampai saat-saat terakhir perkuliahan selesai. Agnes baru tersadar, bahwa waktu bersama Prama akan segera berakhir. Agnes tak kuasa membanyangkan hari-hari tanpa Prama.
Dan semua memang terjadi. Kini, bunga Jacaranda yang indah itu, selalu mengingatkan Agnes pada sosok Prama. Sosok yang telah menorehkan begitu banyak kebahagiaan di hati Agnes.
“Datanglah Pram.. kembalilah ke Brisbane lagi. Aku akan menunggumu disini sayang..“. Begitulah doa-doa yang selalu Agnes panjatkan sebelum tidur malamnya.
Sebenarnya, tak hanya itu saja yang membuat musim dingin kali ini terasa sangat menyiksa. Hatinya yang terbalut rindu dan bayangan akan wajah Prama lah yang lebih menyiksa dirinya. Kepulangan Prama awal musim dingin ini masih menyisakan berjuta kesedihan bagi Agnes.
“Aku akan sangat merindukanmu Pram.. Aku takkan sanggup melewati musim-musim selanjutnya tanpa dirimu Pram“, mata Agnes basah dengan suara parau yang memenuhi rongga mulutnya. Hatinya berkecamuk hebat membayangkan hari-hari yang sepi tanpa Prama disisinya.
“Bagaimana aku bisa hidup tanpa kamu Pram, kamu telah membangkitkan semangat hidupku yang seperti mati. Canda dan semua yang ada padamu telah mengisi hari-hariku menjadi begitu berwarna,“ rajuknya dengan tatapan yang tak mau lepas dari wajah Prama. Sementara daun-daun berguguran seolah mengikuti suasana hati Agnes yang hancur berkeping-keping.
“Sabarlah, kaupun suatu saat harus kembali ke tanah air. Seindah dan senyaman apapun disini, tetap Indonesia tempat kita untuk berbhakti dan mendarmakan ilmu yang kita dapat disini,“ kata-kata bijak Prama seolah berusaha menurunkan tensi kegundahan di hati Agnes. Namun Agnes yakin, Prama pun tak beda dengan dirinya, terjerambat dalam jurang kesedihan yang tak berujung. Membayangkan perpisahan yang sebentar lagi akan mereka alami.
~~~~~~~0000000~~~~~~~
Hari ini, hari ketiga puluh sejak perpisahan itu. Namun, semua yang terjadi saat perpisahan dan kenangan-kenangan indah bersama Prama tak pernah hilang dari ruang memori otak Agnes. Agnes seperti tersandera dalam kenangan indah sosok Prama. Sosok yang begitu sempurna bagi Agnes. Sosok yang telah merubah segalanya dalam kehidupan Agnes.
Kesendirian dinegeri asing bukanlah hal yang mudah bagi seorang pelajar seperti Agnes. Beban study dan keseharian yang mesti dikerjakansendiri, telah menyita sebagian besar waktunya. Semua merubah segalanya menjadi begitu monoton dan tanpa warna.
Sampai pada suatu ketika, ketika seseorang teman mengenalkannya pada Prama. Seorang lelaki sederhana yang sangat cerdas dalam segala hal. Mulanya Agnes menganggap Prama biasa saja, sama seperti teman-teman Indonesia yang lain. Yang membedakan mungkin hanya kesederhanaan dan ketulusan Prama yang- entahlah- sejak pertama Agnes kenal, semuanya memang apa adanya tanpa dibuat-buat.
„Nes, mau nolongin aku ngga?“ tanya Prama suatu ketika
“ngapain?” tanya Agnes cuek dan seadanya ketika itu.
“ mau ngga jadi modelku?” pinta Prama tanpa basa-basi.
Agnes kaget setengah mati, ngga menduga dengan permintaan tolong Prama yang seperti itu.
“Kamu ngeledek ya? Orang seperti aku kok disuruh jadi model, ngga punya tampang dan tinggiku juga minimalis,” Agnes mencoba menolak dan sebenarnya ada sedikit terbersit rasa senang ketika Prama memintanya menjadi model.
“justru itu tantangannya Nes, kalo motret cewe cakep dan body aduhai mah ngga ada tantangannya, justu gimana caranya motret cewe pas-pasan menjadi kelihatan cantik,” Prama senyam-senyum, tapi Agnes tahu tak ada maksud apapun bagi Prama untuk meledeknya.
“Brengsek kamu Pram”.
Tapi itulah yang Agnes suka dari Prama. Apa adanya dan selalu berusaha jujur. Hal yang sangat jarang ia temukan pada sebagian besar laki-laki yang dia kenal. Sejak saat itu, Agnes jadi model tetap bagi Prama. Hampir sebagian besar waktu Prama habis untuk menggeluti hobi pothographynya selain untuk kuliah tentu saja.
Tanpa sadar, Agnes pun akhirnya jatuh cinta juga pada hoby baru ini. Tugasnya sebagai model, telah membuat hari-harinya berubah. Apalagi Prama begitu pintar dan jenaka dalam mengarahkan Agnes di depan kamera. Tak seharipun sesi pemotretan yang menjenuhkan bagi Agnes. Semua telah merubah menjadi kesenangan dan kegembiraan bagi Agnes. Dan tanpa Agnes sadari, perasaan suka juga mulai tumbuh dihatinya.
Tapi Agnes tak berani mengakui dan terkurung dalam keraguan. Jatuh cintakah dia pada Prama? Ah.. perasaan itu dia buang jauh-jauh. Agnes masih berusaha meyakinkan hatinya, bahwa semua bukanlah cinta. Agnes berusaha menanamkan perasaan bahwa semua itu hanya karena ia terlalu sering bersama Prama sehingga satu hari saja tak mendengar suara dan melihat senyum manisnya, perasaan rindu akan membuncah di hatinya. Rindu? Uh, kenapa aku bisa begitu rindu pada sosok sederhana itu?
Apalagi Prama tak sedikitpun menunjukkan perasaan suka dan rindu padanya bila tak bertemu. Uh sebel.. aku kok cinta dan rindu sendiri sih, sesalnya.
~~~~~~~00000~~~~~~~~~~~~
„Kemana aja kamu? Kok ngga pernah kelihatan? Di YM juga ga pernah nongol“ Prama mencecar Agnes dengan seribu pertanyaan. Agnes tersenyum. Akhirnya, batin Agnes. Ah, tapi Agnes berusaha tidak GR.
„sibuk Pram, Assignment ku jatuh tempo minggu ini. Sorry kalo ngga beredar di YM” imbuh Agnes. Sementara perasaan senangnya tak bisa ditutupi.
“ Aku photo lagi yuk, bunga jacaranda sudah mulai bermekaran loh.. cantik banget pasti”
“Mauuu..” tanpa sadar Agnes berteriak. “uups.,, maksudku emang aku mengharap banget bisa foto dibawah jacaranda. Aku suka banget dengan warna ungunya” Agnes benar-benar tak bisa menutupi lagi rasa senangnya. Terbayang sudah hasil foto yang cantik hasil bidikan Prama. Apalagi, memang sudah seminggu ini Prama selalu menghiasi ruang rindunya.
Jadilah sesi photo Jacaranda itu menjadi momen yang paling indah bagi Agnes. Deretan pohon jacaranda di Monroo Park yang melulu hanya dihiasi bunga, menjadi saksi keriangan hati Agnes. Apalagi canda dan sikap Prama yang begitu baik padanya, kian meyakinkan hati Agnes, bahwa Prama sebenarnya juga memendam rasa suka padanya.
“Pram, akan kuinget saat-saat ini. Saat bunga jacaranda bermekaran, saat saat hatiku mulai yakin bahwa aku memang jatuh cinta padamu“. Sebaris kalimat indah, Agnes torehkan dibuku hariannya. Dan hari-harinya pun begitu berwarna, hujan bernyanyi riang dan burungpun bersenandung merdu mengisi suasana hati Agnes.
Dua semester berlalu sudah, semua bagai berlalu dalam hitungan detik saja bagi Agnes. Tak ada lagi kejenuhan yang dia rasakan. Sampai saat-saat terakhir perkuliahan selesai. Agnes baru tersadar, bahwa waktu bersama Prama akan segera berakhir. Agnes tak kuasa membanyangkan hari-hari tanpa Prama.
Dan semua memang terjadi. Kini, bunga Jacaranda yang indah itu, selalu mengingatkan Agnes pada sosok Prama. Sosok yang telah menorehkan begitu banyak kebahagiaan di hati Agnes.
“Datanglah Pram.. kembalilah ke Brisbane lagi. Aku akan menunggumu disini sayang..“. Begitulah doa-doa yang selalu Agnes panjatkan sebelum tidur malamnya.
Komentar