Namanya Agil, masih lugu dan umurnya belum lagi genap lima tahun. Tapi, kerasnya kehidupan telah membuatnya harus menjalani hampir seluruh siang harinya tanpa perhatian dan belaian kasih sayang ibu, hal yang semestinya menjadi salah satu kebutuhan utama dalam tumbuh kembangnya.
Saya mengenalnya secara kebetulan karena anak saya sering bercerita tentang si Agil. Tentu saja yang diceritakan bukan polah lucu dan menggemaskan dari si Agil, tetapi perlakuan kurang simpatik dari teman-teman yang seharusnya bukan menjadi temannya bermain. Menurut anak saya, seringkali si Agil di usili dan dijahili oleh teman-temannya, entah dengan cara disuruh bertingkah aneh atau digoda dalam bentuk lain. Intinya, tentu saja perlakuan teman-temannya itu pasti merusak perkembangan si Agil secara emosional.
Kepada istri saya, saya sempat menayakan mengapa anak seusia si Agil harus bermain sendirian? (walaupun lingkungan tempat kami tinggal relatif aman, karena semua tetangga saling mengenal dengan baik). Lalu mengalirlah cerita tentang keluarga si Agil menurut versi istri saya.
Ternyata ibu si Agil adalah pembantu tetangga sebelah rumah saya yang terpaksa harus meninggalkan si Agil bermain sendirian. Pagi-pagi sekali dia sudah sibuk dengan tugasnya dan baru selesai setelah malam menjelang. Si Agil hanya sempat diberinya sarapan dan dimandikan, setelah itu dibiarkan bermain dilingkungan sekitar mereka tinggal. Baru setelah selesai bekerja, Agil baru bisa bertemu ibunya lagi.
Sebenarnya Ibu si Agil dulunya tidak tinggal disekitar lingkungan kami. Setahu saya, hanya Bapaknya si Agil saja yang tinggal dan bekerja sebagai sopir di salah satu toko dekat lingkungan kami. Tapi karena kebutuhan ekonomi yang terus mendesak, akhirnya Agil dan Ibunya diboyong sang Bapak untuk bersama-sama mencari nafkah di Jakarta. Dan si Agil-lah yang akhirnya menjadi korban. Ah, kalau seperti ini siapa yang harus disalahkan?
Di usia semuda itu, dia harus menjalani hari-hari tanpa perhatian dari sang Ibu. Haknya untuk bermain secara aman dan sehat pun terabaikan karena tak ada yang memperhatikan. Belum lagi saat dia merasa lapar atau ingin tidur siang disela-sela waktu bermainnya, semua dilakukan sendirian. Si Agil, satu lagi potret anak negeri ini yang harus menghadapi kerasnya persaingan hidup walau dia belum mengerti sedikitpun.
Andai si Agil tahu, tentu dia akan meminta kepada para Capres dan Cawapres yang sekarang sedang berkampanye, untuk menyumbangkan sedikit saja dana kampanye mereka untuk membantu dirinya. Andai si Agil tahu, tentu dia akan meminta kepada salah seorang cawapres untuk menjual satu ekor kudanya saja untuk membiayai dia dan keluarganya berusaha, agar dia bisa ditemani sang ibu sepanjang hari. Ah, Agil.. sayang kamu belum mengerti..
Saya mengenalnya secara kebetulan karena anak saya sering bercerita tentang si Agil. Tentu saja yang diceritakan bukan polah lucu dan menggemaskan dari si Agil, tetapi perlakuan kurang simpatik dari teman-teman yang seharusnya bukan menjadi temannya bermain. Menurut anak saya, seringkali si Agil di usili dan dijahili oleh teman-temannya, entah dengan cara disuruh bertingkah aneh atau digoda dalam bentuk lain. Intinya, tentu saja perlakuan teman-temannya itu pasti merusak perkembangan si Agil secara emosional.
Kepada istri saya, saya sempat menayakan mengapa anak seusia si Agil harus bermain sendirian? (walaupun lingkungan tempat kami tinggal relatif aman, karena semua tetangga saling mengenal dengan baik). Lalu mengalirlah cerita tentang keluarga si Agil menurut versi istri saya.
Ternyata ibu si Agil adalah pembantu tetangga sebelah rumah saya yang terpaksa harus meninggalkan si Agil bermain sendirian. Pagi-pagi sekali dia sudah sibuk dengan tugasnya dan baru selesai setelah malam menjelang. Si Agil hanya sempat diberinya sarapan dan dimandikan, setelah itu dibiarkan bermain dilingkungan sekitar mereka tinggal. Baru setelah selesai bekerja, Agil baru bisa bertemu ibunya lagi.
Sebenarnya Ibu si Agil dulunya tidak tinggal disekitar lingkungan kami. Setahu saya, hanya Bapaknya si Agil saja yang tinggal dan bekerja sebagai sopir di salah satu toko dekat lingkungan kami. Tapi karena kebutuhan ekonomi yang terus mendesak, akhirnya Agil dan Ibunya diboyong sang Bapak untuk bersama-sama mencari nafkah di Jakarta. Dan si Agil-lah yang akhirnya menjadi korban. Ah, kalau seperti ini siapa yang harus disalahkan?
Di usia semuda itu, dia harus menjalani hari-hari tanpa perhatian dari sang Ibu. Haknya untuk bermain secara aman dan sehat pun terabaikan karena tak ada yang memperhatikan. Belum lagi saat dia merasa lapar atau ingin tidur siang disela-sela waktu bermainnya, semua dilakukan sendirian. Si Agil, satu lagi potret anak negeri ini yang harus menghadapi kerasnya persaingan hidup walau dia belum mengerti sedikitpun.
Andai si Agil tahu, tentu dia akan meminta kepada para Capres dan Cawapres yang sekarang sedang berkampanye, untuk menyumbangkan sedikit saja dana kampanye mereka untuk membantu dirinya. Andai si Agil tahu, tentu dia akan meminta kepada salah seorang cawapres untuk menjual satu ekor kudanya saja untuk membiayai dia dan keluarganya berusaha, agar dia bisa ditemani sang ibu sepanjang hari. Ah, Agil.. sayang kamu belum mengerti..
Komentar