Meskipun lebaran telah lewat beberapa minggu yang lalu, tetap saja topik pulang kampung adalah pertanyaan yang sering kali diajukan teman-teman saya ketika pertama kali bertemu. Terutama teman yang ngga tahu atau lupa saya berasal dari mana.
Dan ketika saya jawab saya ngga pulang kampung alias tetap di Jakarta karena saya memang asli Betawi, beragam komentar pun muncul. Mulai dari yang menanggap enak sampai nggak enak. Kalau yang enak akan bilang, "wah, enak dong ya ngga repot-repot pulang kampung." Sedang yang bilang ngga enak akan berkomentar, "wah, kasihan ngga punya kampung, ngga pernah ngerasain gimana pulang kampung."
Untuk komen yang bilang enak ngga perlu pulang kampung, saya setuju banget. Apalagi kalau ngeliat berita di TV sepanjang H-7 sampai H+7. Kalo lihat macet dan perjuangan pemudik kembali ke kampung, rasanya memang Allah sayang banget sama saya. Ngga perlu bersusah payah dan biaya besar untuk kembali ke kampung dan merasakan suasana kampung.
Sedang untuk yang komentar yang kasihan ke saya karena ngga pernah ngerasain pulang kampung.. jawab saya.. "eits, tunggu dulu." Walau secara badan tak ada perpindahan dari kota (baca: Jakarta-red) ke kampung (di luar Jakarta) tetapi secara batin saya pun merasakan bagaimana suasana perkampungan itu. Bahkan lebih dahsyat. Suasana kampung saya seperti di luar negeri. Ngga percaya? simak deh pengalaman lahir dan batin saya berikut ini:
Selama kaum urban kembali ke kampung mereka, Jakarta di pagi hari ternyata terasa juga sejuknya. Sepanjang jalan Fatmawati yang hiruk pikuk, macet dan penuh polusi di hari biasa, saat itu begitu sepi dengan beberapa kendaraan lalu lalang. Udaranya segar dan bersih. Serasa berada di sebuah kota di luar negeri yang jalannya mulus tapi minim kendaraan.
Tak ada pedagang kaki lima, tak ditemui pengemis, kebanyakan orang-orang berpakaian bersih dan rapi dengan senyum dan wajah cerah. Setiap bertemu selalu mengucap salam dan meminta maaf serta saling mendoakan. Rumah-rumah pintunya terbuka dengan hidangan yang tersedia untuk tamu yang datang. Rasanya warga kampung saya begitu berhati mulia dan makmur banget. Saya terasa seperti hidup di negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi..
Kalau salah satu tujuan pulang kampung adalah menikmati kembali romantisme masa kecil/masa lalu dengan bertemu teman-teman, saudara dan keluarga serta tetangga-tetangga sambil menikmati hidangan masa kesukaan waktu kecil. Saya pun menikmati hal itu. Di hari lebaran, saya juga bertemu teman-teman masa kecil saya dan keluarga jauh yang sehari-hari jarang ketemu.
Begitu juga soal makanan yang sewaktu masih kecil jadi hidangan favorit. Saat lebaran dibeberpa rumah hidangan tersebut juga tetap tersaji. Tape uli, dodol, biji ketapang, kolang-kaling dan beberapa penganan tradisional khas betawi lainnya. Belum lagi semur daging khas betawi yang tak ada duanya...hmmm enaknyee..
Jadi, siapa bilang saya ngga bisa ngerasin suasana kampung yang sejuk, sunyi dengan aneka penganan tradisional kalo begini?
Dan ketika saya jawab saya ngga pulang kampung alias tetap di Jakarta karena saya memang asli Betawi, beragam komentar pun muncul. Mulai dari yang menanggap enak sampai nggak enak. Kalau yang enak akan bilang, "wah, enak dong ya ngga repot-repot pulang kampung." Sedang yang bilang ngga enak akan berkomentar, "wah, kasihan ngga punya kampung, ngga pernah ngerasain gimana pulang kampung."
Untuk komen yang bilang enak ngga perlu pulang kampung, saya setuju banget. Apalagi kalau ngeliat berita di TV sepanjang H-7 sampai H+7. Kalo lihat macet dan perjuangan pemudik kembali ke kampung, rasanya memang Allah sayang banget sama saya. Ngga perlu bersusah payah dan biaya besar untuk kembali ke kampung dan merasakan suasana kampung.
Sedang untuk yang komentar yang kasihan ke saya karena ngga pernah ngerasain pulang kampung.. jawab saya.. "eits, tunggu dulu." Walau secara badan tak ada perpindahan dari kota (baca: Jakarta-red) ke kampung (di luar Jakarta) tetapi secara batin saya pun merasakan bagaimana suasana perkampungan itu. Bahkan lebih dahsyat. Suasana kampung saya seperti di luar negeri. Ngga percaya? simak deh pengalaman lahir dan batin saya berikut ini:
Selama kaum urban kembali ke kampung mereka, Jakarta di pagi hari ternyata terasa juga sejuknya. Sepanjang jalan Fatmawati yang hiruk pikuk, macet dan penuh polusi di hari biasa, saat itu begitu sepi dengan beberapa kendaraan lalu lalang. Udaranya segar dan bersih. Serasa berada di sebuah kota di luar negeri yang jalannya mulus tapi minim kendaraan.
Tak ada pedagang kaki lima, tak ditemui pengemis, kebanyakan orang-orang berpakaian bersih dan rapi dengan senyum dan wajah cerah. Setiap bertemu selalu mengucap salam dan meminta maaf serta saling mendoakan. Rumah-rumah pintunya terbuka dengan hidangan yang tersedia untuk tamu yang datang. Rasanya warga kampung saya begitu berhati mulia dan makmur banget. Saya terasa seperti hidup di negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi..
Kalau salah satu tujuan pulang kampung adalah menikmati kembali romantisme masa kecil/masa lalu dengan bertemu teman-teman, saudara dan keluarga serta tetangga-tetangga sambil menikmati hidangan masa kesukaan waktu kecil. Saya pun menikmati hal itu. Di hari lebaran, saya juga bertemu teman-teman masa kecil saya dan keluarga jauh yang sehari-hari jarang ketemu.
Begitu juga soal makanan yang sewaktu masih kecil jadi hidangan favorit. Saat lebaran dibeberpa rumah hidangan tersebut juga tetap tersaji. Tape uli, dodol, biji ketapang, kolang-kaling dan beberapa penganan tradisional khas betawi lainnya. Belum lagi semur daging khas betawi yang tak ada duanya...hmmm enaknyee..
Jadi, siapa bilang saya ngga bisa ngerasin suasana kampung yang sejuk, sunyi dengan aneka penganan tradisional kalo begini?
Komentar