Merubah Cara Pandang terhadap Balance Scored Card


Diklat Balanced Scorecard angkatan IV tanggal 2 – 6 Mei 2011 lalu benar-benar memberi wawasan baru bagi saya. Tidak hanya memberikan pemahaman tetapi juga memberikan sudut pandang baru tentang apa itu Balance Scorecard (BSC).

Kalau boleh jujur, meskipun pernah mendengar istilah BSC, namun tak pernah sekalipun saya berusaha mencari tahu apa itu BSC. Tawaran diklat BSC dari sekretariat tempat saya bertugas, saya pastikan untuk ikut pada detik-detik terakhir. Itupun karena dalam dua triwulan terakhir saya terlibat dengan proses penyusunan laporan capaian Indikator Kinerja Utama. Dan quote pernyataan Pak Marwanto Harjowiryono (Dirjen Perimbangan Keuangan) pada Buletin Kinerja Edisi 8/2011 yang mengatakan “Kita perlu menjadikan BSC sebagai nafas dan spirit dalam melaksanakan tugas sehingga kita bekerja harus ada action plan dan target, kemudian dievaluasi untuk menentukan reward dan punishment saya anggap lebay.

Balanced Scorecard sebagai alat manajemen bukan alat untuk punishment

Pada hari pertama diklat dan hari-hari selanjutnya, saya berkali-kali mendapat penegasan dari pengajar bahwa BSC sebenarnya merupakan alat manajemen untuk memantau pencapaian kinerja dalam suatu waktu tertentu pada periode yang sedang kita jalani. Dengan adanya BSC manajemen dapat segera memantau, seandainya terdapat kinerja yang tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga dapat diambil langkah-langkah inisiatif untuk mengatasinya.

Saya juga diberikan gambaran bahwa BSC ini menjadi begitu relevan untuk saat ini, karena sejarah membuktikan bahwa pengukuran kinerja yang didasarkan pada aspek keuangan semata ternyata tidak dapat menggambarkan kinerja perusahaan saat ini. Mengapa? karena kinerja yang dapat dilihat dalam laporan keuangan merupakan cerminan kinerja masa lalu sehingga, mengukur kinerja dari laporan keuangan dibaratkan seperti menyetir dengan melihat ke belakang (kaca spion). Kinerja saat ini tidak dapat diukur bila kita tidak mempunyai tool (alat) yang dapat digunakan. Salah satu alat tersebut adalah BSC yang sejauh ini memberikan dampak yang signifikan tetapi dianggap sebagai alat manajemen yagn termudah untuk dipahami dibandingkan dengan Six-sigma dan Malcolm Balridge.

Sedangkan BSC merupakan pengukuran yang seimbang, yaitu megukur kinerja keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang serta internal dan eksternal. Sehingga, dengan BSC kita mempunyai perspektif yang lengkap untuk bekerja: apa yang seharusnya kita miliki, apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang seharusnya kita berikan kepada pelanggan dan manfaat apa yang seharusnya diperoleh bagi pemangku kepentingan.

Dari pemahaman tersebut, timbul pertanyaan di benak saya, mengapa setiap kali penyusunan capaian IKU selalu saja beberapa orang tertentu terlihat begitu tegang. Apalagi pada saat mereka mengetahui beberapa indikator menunjukkan warna merah (tidak tercapai). Seharusnya, BSC ini tidak membuat mereka cemas karena BSC bukanlah alat untuk punishment. Untuk melakukan punishment tidak dapat didasarkan pada hasil yang tertera pada BSC semata. BSC hanya mengukur hard competency dan hanya mengukur kinerja yang dianggap utama saja. Padahal, kinerja seseorang menyangkut pula soft competency (tata nilai) dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak utama namun bersifat rutin dan tetap harus dikerjakan dengan kinerja terbaik.

BSC harus dipahami oleh seluruh karyawan

Setelah masuk kembali ke kantor selepas diklat, saya berkali-kali ditanyakan oleh rekan kerja apa sih BSC itu. Hmm,.. pernyataan pengajar (Pak Supendi) yang menyatakan bahwa masih banyak pegawai Kemenkeu yang belum memahami BSC ternyata memang terbukti. Bahkan lebih ekstrem Pak Supendi mengatakan bahwa rekan-rekannya yang berada dalam satu gedung/ dekat dengan PUSHAKA pun banyak yang belum paham dan tahu apa itu BSC.

Ini tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang harus diselesaikan secara serius. Tidak hanya PR bagi PUSHAKA sebagai manajer kinerja di lingkungan Kemenkeu tetapi tugas semua karyawan Kemenkeu yang sudah tahu apa itu BSC untuk menginformasikan dan berbagi pengetahuan tentang BSC.

Hal tersebut penting untuk menghindari kesalah-pahaman pada saat kewajiban membuat kontrak kinerja mulai efektif diberlakukan. Terutama kesalah- pahaman bahwa BSC adalah alat kontrol untuk menjatuhkan hukuman yang membuat karyawan enggan untuk membuat kontrak kinerja. Bahkan yang lebih penting lagi, agar semua karyawan (64 ribu lebih) di lingkungan Kemenkeu mempunyai persepektif yang dapat mengubah pola pikir dari berpikir normatif yang umum, generik, filosofis dan tidak spesifik menjadi pola pikir definitif yaitu pola fikir yang spesifik, terukur, jelas waktunya serta tidak multitafsir.

Komentar